Hai.
Izinkan aku menyebut aku dan kau ini KITA.
Kemudian izinkan pula aku dan kau ini kusebut sepasang.
Baik, jika kau izinkan artinya sekarang aku dapat melancarkan tulisanku.
Pada petang, di sebuah jalan setapak yang dihiasi guguran daun kering dari pohon-pohon yang bagaikan pagar di sisinya. Daun-daun itu tetap gugur kala aku dan kamu berjalan di atasnya. Kita seakan sedang tersesat kala itu. Bergandengan tangan serta langkah beriringan.
Begitu seterusnya hingga kita semakin menuju sisi tergelap.
Semakin dalam.
Semakin dingin.
Saat petang itu mulai terusir. Kita mulai bingung kemanakah langkah kita berikutnya? Di sisi lain, kegelapan mulai menerkam dari segala sisi. Kita tenggelam dalam kebingungan masing-masing. Bagaimana caranya agar kita kembali? Namun kita hanya membisu dan terus berjalan. Terlalu kalut akan kemesraan yang ada.
Semakin lama, aku semakin yakin bahwa kita benar-benar tersesat. Hingga aku memberanikan bertanya kemudian.
"Kau bawa kemana aku nanti?"
Kemudian kau menjawab dengan cepat.
"Nanti pasti ada jalan di depan sana."
Mendengar itu aku hanya diam saja. Sementara perlahan-lahan genggamanmu terlepas. Langkahmu dipercepat, dan kau sekarang berada di depanku. Sejenak merunduk mengambil sebatang kayu dari sisi jalan. Kau angkat kayu itu ke atas.
Jalanan semakin gelap. Dan aku mulai takut berjalan tanpa genggaman. Sementara itu kamu layaknya pemburu berjalan di hadapanku. Dinginnya pun mulai merasuk tulang. Dan aku marah karena kau tak sekalipun menoleh ke arahku. Ke arahku yang mulai ketakutan. Dan kamu tetap melangkah pasti ke depan.
"Bagaimana bila kita kembali saja?"
Tanyaku memecah keheningan.
"Tidak! Kita sudah berjalan terlampau jauh."
Katamu, menciptakan asap dingin dari celah mulut saat kau berbicara.
"Dengarkan aku! Kita bisa mati jika terus begini!"
Gertakku.
"Asalkan kita masih tetap bersama, semua akan baik-baik saja."
Kau berusaha meyakinkan aku dan kembali menggenggam tanganku. Namun aku menepisnya dan mulai berbalik arah, berderap meninggalkanmu sendirian.
Kamu tidak mengejar. Aku tahu betul kamu sudah cukup kecewa. Perihal aku yang mundur dan tidak ada juangnya. Namun ternyata itu kali terakhir aku melihatmu. Karena ketika ku toleh ke belakang, kau sudah hilang, entah tenggelam di kegelapan atau binatang buas.
Kamu pergi.
Kamu hilang.
Penyesalan mendalamku ketika dengan bodoh aku memutuskan berbalik arah dan meninggalkanmu. Kamu sudah sekian lama berjalan denganku, dan aku terlalu cepat meninggalkanmu.
Untuk kamu yang merasa ditinggalkan.
Barangkali kamu lupa bahwa kamu juga meninggalkan.
AngelaWidi
Pada suatu senja yang ricuh oleh hujan.