Sabtu, 26 Mei 2018

NANTI

Kamu mulai menyerah setelah menanti sekian lama.
Bersiap-siap mengakhiri segala penantian.
Namun di penghujung, tepat saat kamu hendak memejamkan mata.
Ia hadir, memberi harapan.
Seketika itu, kamu harus menahan mata untuk terpejam.
Sebab, kamu rasa penantianmu telah usai dengan tujuan.

Namun, kamu salah.

Ia datang tanpa rasa apapun yang dibawa.
Kamu menerima dengan penuh sukacita.
Namun, tidak sampai melewati suatu masa.
Ia berpamitan meninggalkanmu kembali.

Ya.

Itu artinya, kamu harus menanti kembali bukan?
Dengan penuh lapang dada juga tanpa kejelasan.
Kamu bersiap-siap untuk sebuah penantian yang kesekian kali.
Menahan kantuk yang tadinya menjadi-jadi.

Bodoh sekali, kan?
Jika benar ia yang kamu nanti.
Mengapa ketika ia datang, itu bukan merupakan tujuan?
Ia datang untuk pergi.
Dan pergi untuk kembali.

Begitu seterusnya.

Lantas, untuk sebuah apakah kamu menunggu?
Jika kehadiranmu menanti kehadirannya saja.
Tidak terlihat.
Seperti halnya angin lalu.
Ada, namun tidak selalu tampak.
Angelawidi
27 Mei 2018.

Rabu, 23 Mei 2018

SEBUAH SURAT I

Untuk Rena...

Sampai saat ini aku masih saja menyediakan rindu itu untukmu. Rindu yang barangkali sudah mulai usang. Rindu yang barangkali sudah menjadi kedap, tidak lagi meresap. Kamu masih saja menjadi seseorang yang menciptakan rindu itu kala gelap menguasai malam.

Aku masih merindukanmu.

Rena, malam ini barangkali kau sudah terpejam sedangkan aku masih terjaga. Sekelilingku sepi dan gelap. Hanya cahaya dari layar ponselku yang memantul di wajah. Aku sedang bermain dengan kenangan berkat beberapa potret dari galeri.

Potret pertama, kau merangkulku sementara aku terpejam dengan senyum gemas. Sementara raut mukamu dihiasi senyum lembut pun tatapan teduh. Raut muka yang sudah lama tak pernah hadir di hadapanku.

Iya Rena, aku merindukan raut mukamu. Belakangan ini aku lebih sering berteman dengan raut muka kusutmu. Aku pun rindu senyumanmu, bukan manyun bibirmu.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaanku untuk kamu. Izinkan aku menyampaikan pertanyaanku di atas kertas pula goresan tinta. Karena nyaliku tak cukup mampu mendengarkan jawabanmu nantinya.

Sebab aku paham, kamu bukanlah kamu yang hanya untukku. Sebab ada sosok lain yang seharusnya kamu bahagiakan pula. Sekarang, kamu pasti paham apa yang hendak aku tanyakan, bukan?

Bagaimana Rena? Bagaimana dengan aku? Ingin kau letakkan di mana aku? Di mana saja asal jangan kau buang. Aku sudah cukup menerima kehadiran ia yang baru. Jadi, cukup singkirkan aku dengan baik-baik. Agar aku dapat dengan aman terus mencintaimu dan merindukanmu. Boleh kan apabila aku tetap menitipkan hatiku padamu? Sebab aku belum memiliki tujuan lain dalam meletakkan hati selain kamu.

Semoga berbahagia dengan ia.
Dari calon masa lalumu.

Ah, aku melupakan sesuatu, setelah ini aku akan menghapus beberapa potret aku dan kamu ya, Rena? Aku ingin mencintaimu tanpa bayang kenangan.


Teman baikmu,
Andra.

Selasa, 22 Mei 2018

MALAM DAN HUTAN

Hai.

Izinkan aku menyebut aku dan kau ini KITA.
Kemudian izinkan pula aku dan kau ini kusebut sepasang.
Baik, jika kau izinkan artinya sekarang aku dapat melancarkan tulisanku.

Pada petang, di sebuah jalan setapak yang dihiasi guguran daun kering dari pohon-pohon yang bagaikan pagar di sisinya. Daun-daun itu tetap gugur kala aku dan kamu berjalan di atasnya. Kita seakan sedang tersesat kala itu. Bergandengan tangan serta langkah beriringan.

Begitu seterusnya hingga kita semakin menuju sisi tergelap.

Semakin dalam.
Semakin dingin.

Saat petang itu mulai terusir. Kita mulai bingung kemanakah langkah kita berikutnya? Di sisi lain, kegelapan mulai menerkam dari segala sisi. Kita tenggelam dalam kebingungan masing-masing. Bagaimana caranya agar kita kembali? Namun kita hanya membisu dan terus berjalan. Terlalu kalut akan kemesraan yang ada.

Semakin lama, aku semakin yakin bahwa kita benar-benar tersesat. Hingga aku memberanikan bertanya kemudian.
"Kau bawa kemana aku nanti?"

Kemudian kau menjawab dengan cepat.
"Nanti pasti ada jalan di depan sana."

Mendengar itu aku hanya diam saja. Sementara perlahan-lahan genggamanmu terlepas. Langkahmu dipercepat, dan kau sekarang berada di depanku. Sejenak merunduk mengambil sebatang kayu dari sisi jalan. Kau angkat kayu itu ke atas.

Jalanan semakin gelap. Dan aku mulai takut berjalan tanpa genggaman. Sementara itu kamu layaknya pemburu berjalan di hadapanku. Dinginnya pun mulai merasuk tulang. Dan aku marah karena kau tak sekalipun menoleh ke arahku. Ke arahku yang mulai ketakutan. Dan kamu tetap melangkah pasti ke depan.

"Bagaimana bila kita kembali saja?"
Tanyaku memecah keheningan.

"Tidak! Kita sudah berjalan terlampau jauh."
Katamu, menciptakan asap dingin dari celah mulut saat kau berbicara.

"Dengarkan aku! Kita bisa mati jika terus begini!"
Gertakku.

"Asalkan kita masih tetap bersama, semua akan baik-baik saja."
Kau berusaha meyakinkan aku dan kembali menggenggam tanganku. Namun aku menepisnya dan mulai berbalik arah, berderap meninggalkanmu sendirian.

Kamu tidak mengejar. Aku tahu betul kamu sudah cukup kecewa. Perihal aku yang mundur dan tidak ada juangnya. Namun ternyata itu kali terakhir aku melihatmu. Karena ketika ku toleh ke belakang, kau sudah hilang, entah tenggelam di kegelapan atau binatang buas.

Kamu pergi.
Kamu hilang.

Penyesalan mendalamku ketika dengan bodoh aku memutuskan berbalik arah dan meninggalkanmu. Kamu sudah sekian lama berjalan denganku, dan aku terlalu cepat meninggalkanmu.


Untuk kamu yang merasa ditinggalkan.
Barangkali kamu lupa bahwa kamu juga meninggalkan.


AngelaWidi
Pada suatu senja yang ricuh oleh hujan.

HILANG

Kali ini aku sedang tidak berniat menuliskan sajak-sajak. Entah rasanya malam ini sedikit berbeda dengan malam sebelumnya, aku tidak ingin menyebutkan alasannya apa. Sebab, aku sendiri takut untuk mengakui. Anggap saja malam ini tampak lebih sendu karena bekas genangan dari hujan ringan di senja tadi. Sepertinya hujan senja tadi sedang ingin mengiringi suasana hatiku saja. 
Memang benar, senja tadi sedikit berbeda dengan sebuah tanda tanya kecil yang belum sempat terungkap apalagi terjawab. Aku menghabiskan senjaku bersama teman-teman sedangkan jiwaku sedang berada di tempat lain. Ada yang tak ada. Fikiranku kalut sama halnya dengan hari yang semakin larut. Malamnya, aku memutuskan untuk menghabiskannya dengan duduk bersantai di kursi belajarku.
Aku tidak sendiri, aku ditemani segelas coklat kental panas. Sedikit sunyi, walaupun grup whatsapp-ku sedang bersiulan hanya untuk sekedar buka bersama. Sekarang kita sedang berada di awal bulan suci. Di mana teman lama sedang bemunculan memberi beberapa harapan untuk bersua bertukar kabar pada suatu senja. Padahal beberapa seperti alumni SD, alumni SMP, dan apapun itu sudah melewati fase 'perpisahan'. Namun nyatanya tidak, meskipun pernah dianggap berpisah, kami masih sering bertemu, bercerita tentang masa lalu, atau berbalas senyum. Aku harap, hal itu juga berlaku terhadapmu.

Antara aku dan kamu belum terjadi perpisahan. Dan aku mengharap sekali jangan. Namun aku jadi menebak-nebak. Barangkali satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan atau satu tahun setelah ini, kita akan berpisah dan aku tidak menyadari momentnya. Entahlah aku begitu takut kehilangan.

Jumat, 11 Mei 2018

TAHAN

Mungkin kamu bertanya-tanya.
Adakah yang salah dari kamu?
Ada apa dengan aku?
Apa yang salah denganku?
Atau apa yang salah dengan kita?

Beberapa waktu belakangan,
Jujur aku merasa ingin berhenti sejenak dan tidak ingin melewati masa yang akan datang.
Bukan pada zona nyaman aku ingin berhenti, ini sama sekali bukan zona nyaman.
Namun setidaknya aku berhenti begini agar dapat menghindari luka-luka yang nantinya akan menghampiri.

Benar, aku enggan terus melangkah karena aku paham, bahwa setiap langkahku akan ada luka-luka baru.
Aku tidak takut goresan yang dalam sekalipun,
Aku lelah meringis lalu diam beberapa saat memulihkan keadaan.

Sejujurnya aku rindu...
Namun dalam diamku, ada tangan-tangan yang sedang aku tahan agar tidak lepas begitu saja lalu menghambur seenaknya.
Memelukmu...
Ada tatapan-tatapan yang aku buang berkali-kali agar tidak terus melekat pada sosokmu.
Ada rasa debar yang kubunuh diam-diam.
Ada gerak-gerak yang aku sekap agar tak tampak begitu bodoh.
Ada kata-kata yang tetap terpenjara pada dada. Memberontak setiap saat ingin dikeluarkan.
Tepat pada telingamu kata-kata itu akan bebas.
"Aku merindukanmu.. " Begitu bisikan itu menguar.

Rabu, 09 Mei 2018

SATU

Teruntuk Pemuda yang Sama.

Tulisan ini saya tulis satu jam sebelum kehadiran hari di mana saya dan kamu menjadi kita. Saya tidak menyangka bahwa akhirnya percakapan tidak berbobot kita membawa kita pada hari di mana kamu mampu memberanikan diri menawarkan kepada saya untuk menjalin hubungan. Saya juga tidak mengira bahwa lambat-laun kamu mulai membahas tentang masa depan di mana kita akan bersama nantinya. Dalam suatu ikatan yang sah secara hukum dan agama.

Sebenarnya berat untuk mengakui ini, menyadari bahwa kita telah satu tahun menjalin hubungan. Namun, faktanya lebih dari itu. Kurang lebih 2 tahun lebih kamu menemani hari-hari saya. Kalau saya tidak salah di penghujung tahun 2015 kamu sudah menemani saja. Dan sekarang kita sedang berada di pertengahan tahun 2018.

Sedikit saya akan mendokumentasikan beberapa momen kita pada tulisan saya kali ini. Pada akhir tahun 2015 kita mulai dekat dan mengenal satu sama lain. Berjalan setelahnya, tepat pada bulan Mei tahun berikutnya kita mulai nonton bioskop bersama. Ya, saya sangat ingat masa itu. Pertengahan tahun 2016 pula kita melewati banyak sekali momen. Yang paling tidak terduga ialah ketika saya dan kamu dipertemukan kembali. Bahkan lebih dekat sebelumnya.

Tahun 2016 bagi saya tahun penuh suka-duka. Namun setelah berganti tahun 2017. Saya menjadi sedikit belajar tentang luka. Tapi tak apa, cinta memang begitu bukan? Banyak luka-luka tercipta di tahun kemarin. Namun, ada hari bersejarah terukir di dalamnya. 10 Mei 2017. Sebenarnya bukan apa-apa hanya 2 kata yang kamu kirimkan dalam bentuk visual via Line. Hal itu cukup membuat saya tersenyum seharian. Bahkan hari berikutnya, hari berikutnya, hari berikutnya, dan seterusnya.

Setelah suka duka di tahun 2016 dan 2017 terlampaui. Sekarang kita tiba di tahun 2018. Kita makin dewasa saja, sudah menjadi remaja tangguh. Usia kita sama-sama sudah 17 tahun. 17 yang manis.

Saking terlalu menjadi keseharian, saya jadi bingung untuk membayangkan suatu perpisahan. Saya jadi takut kehilangan kamu.

Hampir 3 tahun bersama itu bukan waktu yang singkat. Juga bukan masalah ringan untuk menghapus semua memori tentangnya. Rasanya tidak mungkin.

Lantas apa tujuan saya menulis sedemikian rupa? Tujuan saya menulis ialah agar kamu baca. Itu tujuan utama saya. Jika nantinya kamu akan benar-benar membaca tulisan ini, saya jadi ingin menambahkan beberapa kata ungkapan di sini.

"Saya menyukai kamu."
"Saya menyayangi kamu."
"Saya mencintai kamu."

Sudah cukup sekiranya sampai di sini saja. Karena jika saya mengulas hal-hal apa mengenai kita, saya tidak akan cukup 1 minggu untuk menuliskan cerita kita berdua. Saking banyaknya. Haha.

Cukup sekian.

Terimakasih atas segala dukungan dan senyuman.
Terimakasih.

12:00 a.m.

Angelawidi

10 Mei 2018.

Need To Remember

 Ini aku, pribadi yang bahagia di tahun dua ribu dua puluh satu. Aku belajar memaafkan dan berdamai pada diri sendiri yang melakukan banyak ...